“Mama!”
jeritmu ketika langkah Mama semakin menjauh sementara tangan kokoh Papa
memaksamu untuk tetap berada di sampingnya. Lonceng gereja maupun kidung natal
tidak memeriahkan malammu. Kamu menangis tersedu-sedu meskipun bayangan Mamamu
telah hilang ditelan kegelapan. Bahkan Papamu tidak peduli ketika kamu tidak
juga ingin beranjak dari depan pagar.
“Ma ... ma,” mulutmu tak berhenti bergumam dan
matamu tak juga berhenti memandang di kegelapan malam. Malam sudah mulai membuatmu
mengigil, namun tidak membuatmu enggan melangkah sedikit pun untuk
menghangatkan diri di dalam rumah berdua bersama Papa.
Di
usiamu yang baru menginjak lima tahun, kamu belum bisa mengatur perasaanmu yang
baru saja ditinggal pergi ibu kandungmu. Tidak segan kamu jatuh terduduk di
trotoar jalan, bersandar pada pagar kayu yang mulai pudar dan lapuk. Kamu terus
terisak di sana sambil memeluk kaki mungilmu.
“Jingle
bell ... jingle bell ...,” nyanyian seseorang membuatmu kembali menegadah. Kamu
memandang sesosok anak laki-laki yang membawa kaus kaki besar dengan stelan
baju berwarna merah seperti sinterklas, kini berdiri di hadapanmu. Dia
tersenyum ramah. “Kamu kenapa?” tanyanya berbalik kelihatan cemas. Senyumnya
pudar begitu saja, seakan tidak pernah ditunjukkannya.
Kamu
hanya menggeleng tidak berdaya. Mulutmu menjadi kelu kala mengingat ibumu yang
meninggalkanmu, bahkan tanpa menoleh sekali pun. Air matamu kembali merebak dan
bibirmu gemetar.
“Eh,
jangan nangis ... ini sinterklas kasih kamu hadiah,” ucap anak lelaki itu sembari
menyodorkanmu sebungkus coklat. Kamu memandang cukup lama antara coklat
bergantian dengan sinterklas kecil bersorot mata hangat dengan bingung.
“Ambillah ... ini dari sinterklas,” lanjutnya lagi seakan meyakinkanmu yang
masih ragu untuk mengambil coklat pemberiannya.
Kemudian
setelah kamu tidak juga mengulurkan tanganmu untuk mengambilnya, sinterklas
kecil membuka tanganmu dan menaruhkan bungkusan coklat berpita merah muda.
Setelah itu dia memilih duduk di sebelahmu.
“Jangan
sedih lagi yah, sinterklas akan menemanimu hingga kamu tersenyum lagi.”
Kamu
masih memandangnya dalam balutan kepedihan. Sama sekali tidak bisa melupakan
jejak luka yang ditinggalkan ibumu. Dia mulai bercerita tentang keajaiban
sinterklas yang hobi membagi-bagikan hadiah dan menyenangkan mereka di hari
natal.
“...
dan sebagai sinterklas, aku janji akan membuatmu tersenyum,” ucapnya mengakhiri
cerita ajaibnya. “Keajaiban itu akan datang jika kita percaya. Tersenyumlah dan
percaya keajaiban itu akan datang suatu hari di malam natal.”
***
Dua
belas tahun terburuk menjadi sahabatmu. Tidak ada lagi kasih sayang. Papa
selalu sibuk sendiri dengan keluarga barunya dan tidak pernah memedulikanmu.
Kamu merasakan keasingan ketika sepuluh tahun lalu Papa memilih seorang ibu baru
bagimu. Dia tidak jahat seperti ibu tiri dalam cerita bawang merah bawang
putih.
“Ma,
ini rotinya,” ucap Papa setelah mengoleskan selai rasberry kesukaan istrinya.
Mama
hanya tersenyum dan menaruh roti yang disodorkan di piring sambil terus
menyuapi adik tiri lelakimu yang sulit makan. “Ayo, sayang ...,” bujuk Mama
pada Leon yang sudah berusia sembilan tahun. Sudah cukup besar untuk makan
sendiri, tidak perlu dimanjakan seperti anak kecil.
“Sudah
Ma, Leon sudah gede, harus makan sendiri,” tegur Papa ikutan sewot ketika kamu
baru saja duduk di salah satu kursi yang berseberangan dengan Papa.
“Nggak,
kalau nggak disuapin pasti nggak akan makan! Ayo Leon!”
“Dasar
manja,” timpalmu sembari mengambil roti di depan.
“Bwekkk
...,” Leon membalas dengan kurang ajar.
“Kutampar
kau kalau berani lagi!” kamu memelototi Leon yang membuatnya cemberut dan
berhenti mengunyah. Mama kembali kewalahan untuk membujuk putranya untuk terus
menguyah dan menghabiskan makanannya.
“Jenny!”
tegur Papa halus ketika melihat pandanganmu yang terlihat sewot dan bibirmu
yang tidak pernah tersenyum pada ibu tirimu meskipun sudah sepuluh tahun
tinggal serumah.
“Kenapa,
Pa?” tanyamu cuek sambil mengunyah.
“Pa
...,” Mama ikut menegur Papa yang kelihatan sudah akan mendampratmu karena
mencari gara-gara dengan putra semata wayangnya.
“Nggak
usah sok baik deh!” ujarmu kepada ibu tirimu kemudian beranjak dari meja makan
sebelum Papa membuka mulut lagi untuk memarahimu.
Yah,
perutmu selalu kekenyangan oleh omelan dan kemarahan Papa. Sudah lama kamu
merasa asing dan sendiri di tengah keluargamu. Kamu tidak pernah menerima
pernikahan Papa dan Mama tirimu. Bahkan tidak sering kamu berusaha menyakiti
Mama tirimu agar segera hengkang dari rumahmu. Sebaik apapun sikap Mama tirimu
yang berusaha menyenangimu, tetap saja kamu merasa bahwa dia telah merebut
singgasana ibu kandungmu yang sekarang entah berada dimana. Setiap kali
memikirkan ibu kandungmu yang lembut, air mata akan mengalir di pipimu.
***
24
Desember
Kamu
melihat kalender kecil di sampul notes yang selalu dibawa kemana-mana. Rasanya
air matamu sudah memburamkan pandanganmu setiap tanggal ini tiba. Tidak ada
yang pernah mengingat hari ini. Marah dan sedih menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari hidupmu. Seandainya saja ibumu masih di sisimu, mungkin kamu
akan mendapatkan sebuah kecupan dan kue yang dibuatnya sendiri.
“Happy
birthday, sayang,” ucap Nell sembari mengecup pipimu perlahan. Pacarmu yang
selalu menyayangimu. Air matamu jatuh karena kaget.
“Apaan
sih!” bentakmu sambil mengusap jejak air mata. Kamu paling pantang
memperlihatkan air mata kepada orang lain, tidak terkecuali pacarmu yang sudah
bersamamu selama tiga tahun.
“Maaf,
kamu kenapa?” tanyanya cemas. Alisnya yang tebal mengerut bingung meskipun dia
tahu bahwa tabiatmu yang selalu buruk apalagi jika berhadapan dengannya.
“Bukan
urusanmu!” bentakmu sebelum berlari meninggalkannya. Namun dia tidak pernah
lelah ataupun menyerah dengan sifatmu yang super cuek dan judes terhadapnya,
dia tetap mengejarmu. Nell selalu takut kehilangan dirimu yang dicintainya. Dia
sudah banyak berkorban untukmu.
***
Ingatkah
kamu saat pertama kali bertemu Nell?
“Ada
kecelakaan!” orang-orang berlarian menghampirimu yang ditabrak sebuah mobil
pick up – yang segera melarikan diri - sehingga kamu dan motormu terseret
hingga beberapa meter jauhnya. Berbondong-bondong orang hanya ikut panik
melihat dan bergidik melihatmu yang penuh dengan darah.
Dengan
separuh napasmu yang tersisa, kamu berusaha meminta bantuan. “To ... long.”
Nell
menyeruak keramaian dengan kasar dan berbalik marah kepada orang-orang yang
sebagian besar adalah wanita paruh baya yang tidak bertindak apapun untuk
menolongmu. “Apa yang kalian lihat? Gadis ini harus dibantu!” bentakannya
membahana sehingga membuat beberapa di antaranya tersinggung dan sisanya segera
menyetop mobil yang melewati tempat kejadian.
Meskipun
kamu sudah tidak tahu apa yang terjadi, ketika sadar pun kamu menemukan lelaki
yang belum kamu kenal tertidur di sisi ranjangmu. Pria itu berhidung mancung,
berambut cepak, dan memiliki bentuk wajah oval. Dia terlihat keren meskipun
sedang tertidur.
Kamu
mengedarkan padanganmu ke sekeliling dan tidak menemukan satu orang pun
keluargamu. Sepertinya matahari sudah lama turun dan ketika kamu mengecek
ponselmu, tidak ada satu pun panggilan masuk. Saat itu juga kamu berlinang air
mata. Pedih mendapati dirimu yang tidak berharga bagi keluargamu, bahkan orang
yang tidak kamu kenal jauh lebih peduli padamu. Rasanya hatimu sesak dan
tertembus belati hingga ingin sekali kamu meneriakkan sumpah serapah. Mengutuk
jalan hidupmu yang tidak pernah merajut kebahagiaan.
Belum
setengah jam kamu menangis sendirian, pria yang menyelamatkanmu terbangun.
Melihatmu yang tengah menangis, tanpa bertanya pun dia mengusap air matamu.
Tidak peduli betapa bingung dirimu atas tindakannya, dia hanya tersenyum hangat
kepadamu. Tangismu semakin pecah.
***
“Jangan
ikuti aku! Aku ingin sendiri!” bentakmu ketika Nell mencoba menghentikanmu.
Tentu saja dia sudah berhasil mengejarmu. Di hari ulang tahunmu yang selalu
menjadi hari terburukmu, kamu selalu hanya ingin menangis sendirian. Selama
bersamanya, kamu tidak pernah menceritakan kisah kepergian ibumu yang selalu
berubah duka ketika mengenangnya.
“Tapi
...,” ucap Nell tidak rela membiarkanmu bersedih di setiap ulang tahunmu. Dia
selalu tidak ingin mengerti dirimu yang selalu menghindari berbagai perayaan
yang pernah dia siapkan untukmu. Untuk satu hal saja, dia tidak pernah ingin
mengerti alasan kamu bersedih di setiap kali ulang tahunmu. Selain itu, Nell
merupakan pacar sempurna untukmu. Di manapun ... kamu tidak akan menemukan pria
yang sepadan dengannya.
“Tolong
...,” pintamu memohon.
“Baiklah,”
jawabnya akhirnya mengalah dari sifat keras kepalamu. Yah, selalu Nell yang
mengalah. Terhadapmu, dia tidak pernah mengotot kecuali ketika melihatmu sedih.
Dia akan mencari alibi untuk menyenangkan hatimu ketika keadaanmu sedang
terguncang.
Kamu
mencari bangku taman yang bersih dan memilih duduk di sana sambil menegadah ke
atas langit. Mencari pembenaran akan hidupmu yang terasa sudah berantakan
semenjak ditinggal ibumu. Ketika mengingat ibumu, selalu ada bayangan
sinterklas kecil yang memiliki senyum hangat itu muncul di benakmu. Orang
pertama yang menghiburmu ketika ibumu pergi.
Dialah
cinta pertamamu yang tidak pernah kamu kenal namanya. Dia datang dan pergi
begitu saja. Maka, sampai detik ini pun kamu tidak pernah bisa tulus menyayangi
Nell. Padahal waktu itu, kalian sudah berbagi cerita dengan ceria. Namun baru
beberapa hari kalian selalu bertemu di depan pagar dan menghiburmu namun
kemudian dia tidak pernah muncul lagi. Kamu harus menelan pil pahit kehilangan
sahabat kecilmu seperti ketika ibumu pergi dari hidupmu. Kamu takut, kamu
sangat takut bila Nell akan menghilang seperti lelaki kecil itu. Oleh karena
itu, kamu tidak pernah belajar untuk lebih mencintainya, memercayainya, dan
kamu berharap dia tidak akan pernah menghilang dari hidupmu. Karena setiap kamu
bersikap manis, setiap kali itu pula kamu ditinggalkan ... sendirian.
***
25
Desember 00.01
“Jingle
bell ... jingle bell ....” Kamu hanya menyanyikan bagian itu terus, berharap
dapat memanggil kembali cintamu kepada sinterklas kecil itu dan ibumu yang
pergi sewaktu natal. Tidak heran kadang-kadang kamu bahkan sampai menangis
tersedu-sedu sambil memandang langit malam tanpa salju.
Kamu
meratap dalam kegelapan malam. Kidung natal dan bunyi lonceng gereja yang dekat
dengan rumahmu terdengar jelas namun tidak juga memberikan kedamaian dalam
hatimu. Kamu masih sendiri sekarang ini. Papa dan keluarga barumu tengah
beribadah ke gereja. Meninggalkanmu yang sudah lama telah melupakan Tuhan.
Akhirnya
kamu memutuskan duduk bersandar di pagar bagian dalam, rumahmu. Pagarmu bukan
lagi pagar lapuk dengan cat yang sudah luntur. Pagar baru yang kokoh namun
tidak sama dengan hatimu yang tidak pernah berubah sejak malam itu. kamu masih
selalu menangis dengan bersandar pada pagar.
“Jingle
bell ... jingle bell ....” Lantunan lagu tersebut mirip dengan dua belas tahun
lalu ketika sinterklas kecil itu datang menghiburmu. Tersentak. Kamu mengangkat
wajahmu yang tengah tertelungkup dan kecewa mendapati Nell berdiri di
hadapanmu. Bahkan kamu bingung bagaimana dia bisa masuk ke dalam rumahmu.
“Eh,
jangan nangis ... ini sinterklas kasih kamu hadiah,” ucapnya sembari tersenyum
namun tidak ada kotak hadiah apapun di tangannya. Dia juga tidak membawa kaus
kaki besar seperti pria sinterklas kecil itu. Kamu tidak berniat menjawabnya.
Bukan dia yang kamu harapkan di sini. Melihatnya hanya memperdalam rasa
bersalah karena telah bersikap judes kepadanya.
“Agar
bisa mengambil hadiahnya, kamu harus ikut aku!” katanya seraya meraih tangan
dan menarikmu paksa untuk mengikutinya.
“Apaan
sih!” protesmu berusaha melepaskan ikatan tangannya.
Nell
tidak peduli, dia terus menarikmu dan tidak melepaskan genggamannya. Dia
membawamu dengan mobilnya menuju sebuah kompleks perumahan kumuh dan berhenti
di sebuah rumah di ujung blok.
“Siapa?”
sahut sebuah suara perempuan yang dalam perkiraanmu sekitar setengah abad
ketika Nell mengetuk pintunya.
“Nell,
Bu.”
Setelah
bunyi klik ketika pintu dibuka, sebuah wajah muncul di ambang pintu yang
membuat tangan membekap mulutmu. Air matamu mengalir ketika mata kalian bertemu
namun tidak ada sinar teduh yang kamu rindukan. Dia bahkan tidak bereaksi
apa-apa ketika matanya menatap lurus ke dalam bola matamu.
“Dia
buta,” bisik Nell perlahan. Deg! Seperti dihantam godam, hatimu bergetar sesaat
setelah mendengar pernyataan pacarmu. Ada rasa perih yang mencuri masuk ke dalam
hatimu.
“Kamu
bawa siapa, Nak?” tanya ibu tua itu yang merasakan kehadiranmu. Kamu masih
sibuk menangis dan menangkap bayangan wanita setengah abad yang mulai
kehilangan kecantikannya. Kamu merasakan dadamu terasa sakit dan sesak.
“Seseorang
yang Anda rindukan ....”
Kata-kata
Nell membuat wanita tua itu tersentak. Sesaat dia hanya bisa mematung. Kemudian
dia terlihat salah tingkah sambil membetulkan rambutnya yang mulai memutih dan
pakaiannya yang kumal.
“Mama!”
jeritmu sambil memeluknya. Kamu sangat merindukan wanita tua itu, seperti
dirinya yang menangis tersedu-sedu ketika mendapatimu dalam pelukannya. Dipaksa
seperti apapun, dia tidak ingin menceritakan perihal kebutaannya dan masalah
yang membuatnya meninggalkan Papamu. Menurutmu, Mama pasti telah menahan
penderitaan sendirian selama dua belas tahun dalam kemiskinan dan kebutaan.
“Ma,
aku akan datang lagi yah ...,” katamu berpamitan setelah bercengkerama begitu
lama dengan mamamu. Kalian banyak berbagi cerita yang terlewatkan selama dua
belas tahun belakangan ini. Mendadak kamu terlihat ceria sehingga kamu bahkan
tidak memperhatikan sepasang mata yang melihat senyummu dengan sorot
kebahagiaan.
***
“Terima
kasih, Nell,” ucapmu tulus ketika berjalan menuju parkiran mobil di depan
kompleks, sambil menyunggingkan senyum pertamamu semenjak berpacaran dengannya.
Kali ini kamu merasa syukur yang tidak ada habisnya karena Nell telah bersusah
payah mencari mamamu dan mempertemukan kalian. Tanpa penjelasannya pun, kamu
yakin Nell selalu melakukan sesuatu yang menyenangkanmu. Dia seakan selalu tahu
apa yang kamu inginkan.
“Sebagai
sinterklas, aku janji akan membuatmu tersenyum.”
Deg!
Kata-kata yang sama dengan sinterklas kecilmu itu. Senyum hangat yang diberikan
Nell juga seperti ingatanmu di malam Natal itu. Malam yang kamu benci namun
selalu kamu rindukan.
Belum
habis kamu kaget, Nell melanjutkan “Keajaiban itu akan datang jika kita
percaya. Tersenyumlah karena keajaiban itu sudah datang.”
Kamu
berhenti dan menatapnya, “Nell! Darimana kamu tahu kata-kata itu?”
“Ciptaan
sendiri. Dulu, aku selalu menghibur seorang gadis, maaf, cinta pertamaku dengan
kata-kata yang membuatnya tersenyum manis padaku,” ceritanya sambil masih terus
berjalan dan mengenang.
“A
... pa?” tanyamu sambil melongo.
“Ah,
itu hanya masa lalu. Loh? Ada apa, sayang?” tanyanya bingung ketika melihatmu
menghentikan langkah sementara dia sudah melangkah jauh di depanmu. Belum
kering jejak air matamu, lagi-lagi kamu menangis. Malam ini, kamu terlihat
terlalu cengeng. Namun kamu sudah tidak peduli. Kamu berlari menyongsongnya dan
memeluknya dengan erat.
Sesal,
rasa bersalah, dan malu bercampur aduk dengan kebahagiaan. Meskipun kamu
menyadari buncah kebahagiaanlah yang tengah menguasai hati kecilmu ini. Sudah
lama kamu merindukannya. Sekarang, rindu pun berganti kebahagiaan.
“Gadis
manis itu aku, sinterklasku sayang. Aku mencintaimu.” Pertama kalinya kamu
menyatakan perasaanmu kepada Nell, juga pertama kalinya kamu memeluknya seperti
sekarang ini.
Nell
membalas pelukanmu dengan lembut, lalu berkata, “Aku tahu, sayang. Akhirnya
kamu sadar juga. Aku mencintaimu dulu maupun sekarang.” Bintang-bintang yang
bertaburan bak mutiara salju yang menjadi saksi cinta kalian di malam penuh
keajaiban.
![]() | ||
www.penasangpenulis.wordpress.com |
Buku yang terbit tetapi tidak pernah benar-benar beredar dan tidak benar-benar bisa tersedia untuk pembaca. Kesempatan ini saya gunakan untuk berbagi salah satu kisah yang mungkin bisa menghibur para pembaca. Terima kasih untuk siapapun yang bersedia membaca.
Selamat hari natal 2014 dan tahun baru 2015
Tuhan Yesus selalu beserta kita dulu, sekarang, dan selamanya.
-----
Lily Zhang
No comments:
Post a Comment