Monday, December 15, 2014

[Short Fiction Story] Janji Sinterklas



“Mama!” jeritmu ketika langkah Mama semakin menjauh sementara tangan kokoh Papa memaksamu untuk tetap berada di sampingnya. Lonceng gereja maupun kidung natal tidak memeriahkan malammu. Kamu menangis tersedu-sedu meskipun bayangan Mamamu telah hilang ditelan kegelapan. Bahkan Papamu tidak peduli ketika kamu tidak juga ingin beranjak dari depan pagar.
 “Ma ... ma,” mulutmu tak berhenti bergumam dan matamu tak juga berhenti memandang di kegelapan malam. Malam sudah mulai membuatmu mengigil, namun tidak membuatmu enggan melangkah sedikit pun untuk menghangatkan diri di dalam rumah berdua bersama Papa.

Di usiamu yang baru menginjak lima tahun, kamu belum bisa mengatur perasaanmu yang baru saja ditinggal pergi ibu kandungmu. Tidak segan kamu jatuh terduduk di trotoar jalan, bersandar pada pagar kayu yang mulai pudar dan lapuk. Kamu terus terisak di sana sambil memeluk kaki mungilmu.
“Jingle bell ... jingle bell ...,” nyanyian seseorang membuatmu kembali menegadah. Kamu memandang sesosok anak laki-laki yang membawa kaus kaki besar dengan stelan baju berwarna merah seperti sinterklas, kini berdiri di hadapanmu. Dia tersenyum ramah. “Kamu kenapa?” tanyanya berbalik kelihatan cemas. Senyumnya pudar begitu saja, seakan tidak pernah ditunjukkannya.
Kamu hanya menggeleng tidak berdaya. Mulutmu menjadi kelu kala mengingat ibumu yang meninggalkanmu, bahkan tanpa menoleh sekali pun. Air matamu kembali merebak dan bibirmu gemetar.
“Eh, jangan nangis ... ini sinterklas kasih kamu hadiah,” ucap anak lelaki itu sembari menyodorkanmu sebungkus coklat. Kamu memandang cukup lama antara coklat bergantian dengan sinterklas kecil bersorot mata hangat dengan bingung. “Ambillah ... ini dari sinterklas,” lanjutnya lagi seakan meyakinkanmu yang masih ragu untuk mengambil coklat pemberiannya.
Kemudian setelah kamu tidak juga mengulurkan tanganmu untuk mengambilnya, sinterklas kecil membuka tanganmu dan menaruhkan bungkusan coklat berpita merah muda. Setelah itu dia memilih duduk di sebelahmu.
“Jangan sedih lagi yah, sinterklas akan menemanimu hingga kamu tersenyum lagi.”
Kamu masih memandangnya dalam balutan kepedihan. Sama sekali tidak bisa melupakan jejak luka yang ditinggalkan ibumu. Dia mulai bercerita tentang keajaiban sinterklas yang hobi membagi-bagikan hadiah dan menyenangkan mereka di hari natal.
“... dan sebagai sinterklas, aku janji akan membuatmu tersenyum,” ucapnya mengakhiri cerita ajaibnya. “Keajaiban itu akan datang jika kita percaya. Tersenyumlah dan percaya keajaiban itu akan datang suatu hari di malam natal.”
***
Dua belas tahun terburuk menjadi sahabatmu. Tidak ada lagi kasih sayang. Papa selalu sibuk sendiri dengan keluarga barunya dan tidak pernah memedulikanmu. Kamu merasakan keasingan ketika sepuluh tahun lalu Papa memilih seorang ibu baru bagimu. Dia tidak jahat seperti ibu tiri dalam cerita bawang merah bawang putih.
“Ma, ini rotinya,” ucap Papa setelah mengoleskan selai rasberry kesukaan istrinya.
Mama hanya tersenyum dan menaruh roti yang disodorkan di piring sambil terus menyuapi adik tiri lelakimu yang sulit makan. “Ayo, sayang ...,” bujuk Mama pada Leon yang sudah berusia sembilan tahun. Sudah cukup besar untuk makan sendiri, tidak perlu dimanjakan seperti anak kecil.
“Sudah Ma, Leon sudah gede, harus makan sendiri,” tegur Papa ikutan sewot ketika kamu baru saja duduk di salah satu kursi yang berseberangan dengan Papa.
“Nggak, kalau nggak disuapin pasti nggak akan makan! Ayo Leon!”
“Dasar manja,” timpalmu sembari mengambil roti di depan.
“Bwekkk ...,” Leon membalas dengan kurang ajar.
“Kutampar kau kalau berani lagi!” kamu memelototi Leon yang membuatnya cemberut dan berhenti mengunyah. Mama kembali kewalahan untuk membujuk putranya untuk terus menguyah dan menghabiskan makanannya.
“Jenny!” tegur Papa halus ketika melihat pandanganmu yang terlihat sewot dan bibirmu yang tidak pernah tersenyum pada ibu tirimu meskipun sudah sepuluh tahun tinggal serumah.
“Kenapa, Pa?” tanyamu cuek sambil mengunyah.
“Pa ...,” Mama ikut menegur Papa yang kelihatan sudah akan mendampratmu karena mencari gara-gara dengan putra semata wayangnya.
“Nggak usah sok baik deh!” ujarmu kepada ibu tirimu kemudian beranjak dari meja makan sebelum Papa membuka mulut lagi untuk memarahimu.
Yah, perutmu selalu kekenyangan oleh omelan dan kemarahan Papa. Sudah lama kamu merasa asing dan sendiri di tengah keluargamu. Kamu tidak pernah menerima pernikahan Papa dan Mama tirimu. Bahkan tidak sering kamu berusaha menyakiti Mama tirimu agar segera hengkang dari rumahmu. Sebaik apapun sikap Mama tirimu yang berusaha menyenangimu, tetap saja kamu merasa bahwa dia telah merebut singgasana ibu kandungmu yang sekarang entah berada dimana. Setiap kali memikirkan ibu kandungmu yang lembut, air mata akan mengalir di pipimu.
***

24 Desember
Kamu melihat kalender kecil di sampul notes yang selalu dibawa kemana-mana. Rasanya air matamu sudah memburamkan pandanganmu setiap tanggal ini tiba. Tidak ada yang pernah mengingat hari ini. Marah dan sedih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidupmu. Seandainya saja ibumu masih di sisimu, mungkin kamu akan mendapatkan sebuah kecupan dan kue yang dibuatnya sendiri.
“Happy birthday, sayang,” ucap Nell sembari mengecup pipimu perlahan. Pacarmu yang selalu menyayangimu. Air matamu jatuh karena kaget.
“Apaan sih!” bentakmu sambil mengusap jejak air mata. Kamu paling pantang memperlihatkan air mata kepada orang lain, tidak terkecuali pacarmu yang sudah bersamamu selama tiga tahun.
“Maaf, kamu kenapa?” tanyanya cemas. Alisnya yang tebal mengerut bingung meskipun dia tahu bahwa tabiatmu yang selalu buruk apalagi jika berhadapan dengannya.
“Bukan urusanmu!” bentakmu sebelum berlari meninggalkannya. Namun dia tidak pernah lelah ataupun menyerah dengan sifatmu yang super cuek dan judes terhadapnya, dia tetap mengejarmu. Nell selalu takut kehilangan dirimu yang dicintainya. Dia sudah banyak berkorban untukmu.
***

Ingatkah kamu saat pertama kali bertemu Nell?

“Ada kecelakaan!” orang-orang berlarian menghampirimu yang ditabrak sebuah mobil pick up – yang segera melarikan diri - sehingga kamu dan motormu terseret hingga beberapa meter jauhnya. Berbondong-bondong orang hanya ikut panik melihat dan bergidik melihatmu yang penuh dengan darah.
Dengan separuh napasmu yang tersisa, kamu berusaha meminta bantuan. “To ... long.”
Nell menyeruak keramaian dengan kasar dan berbalik marah kepada orang-orang yang sebagian besar adalah wanita paruh baya yang tidak bertindak apapun untuk menolongmu. “Apa yang kalian lihat? Gadis ini harus dibantu!” bentakannya membahana sehingga membuat beberapa di antaranya tersinggung dan sisanya segera menyetop mobil yang melewati tempat kejadian.
Meskipun kamu sudah tidak tahu apa yang terjadi, ketika sadar pun kamu menemukan lelaki yang belum kamu kenal tertidur di sisi ranjangmu. Pria itu berhidung mancung, berambut cepak, dan memiliki bentuk wajah oval. Dia terlihat keren meskipun sedang tertidur.
Kamu mengedarkan padanganmu ke sekeliling dan tidak menemukan satu orang pun keluargamu. Sepertinya matahari sudah lama turun dan ketika kamu mengecek ponselmu, tidak ada satu pun panggilan masuk. Saat itu juga kamu berlinang air mata. Pedih mendapati dirimu yang tidak berharga bagi keluargamu, bahkan orang yang tidak kamu kenal jauh lebih peduli padamu. Rasanya hatimu sesak dan tertembus belati hingga ingin sekali kamu meneriakkan sumpah serapah. Mengutuk jalan hidupmu yang tidak pernah merajut kebahagiaan.
Belum setengah jam kamu menangis sendirian, pria yang menyelamatkanmu terbangun. Melihatmu yang tengah menangis, tanpa bertanya pun dia mengusap air matamu. Tidak peduli betapa bingung dirimu atas tindakannya, dia hanya tersenyum hangat kepadamu. Tangismu semakin pecah.
***

“Jangan ikuti aku! Aku ingin sendiri!” bentakmu ketika Nell mencoba menghentikanmu. Tentu saja dia sudah berhasil mengejarmu. Di hari ulang tahunmu yang selalu menjadi hari terburukmu, kamu selalu hanya ingin menangis sendirian. Selama bersamanya, kamu tidak pernah menceritakan kisah kepergian ibumu yang selalu berubah duka ketika mengenangnya.
“Tapi ...,” ucap Nell tidak rela membiarkanmu bersedih di setiap ulang tahunmu. Dia selalu tidak ingin mengerti dirimu yang selalu menghindari berbagai perayaan yang pernah dia siapkan untukmu. Untuk satu hal saja, dia tidak pernah ingin mengerti alasan kamu bersedih di setiap kali ulang tahunmu. Selain itu, Nell merupakan pacar sempurna untukmu. Di manapun ... kamu tidak akan menemukan pria yang sepadan dengannya.
“Tolong ...,” pintamu memohon.
“Baiklah,” jawabnya akhirnya mengalah dari sifat keras kepalamu. Yah, selalu Nell yang mengalah. Terhadapmu, dia tidak pernah mengotot kecuali ketika melihatmu sedih. Dia akan mencari alibi untuk menyenangkan hatimu ketika keadaanmu sedang terguncang.
Kamu mencari bangku taman yang bersih dan memilih duduk di sana sambil menegadah ke atas langit. Mencari pembenaran akan hidupmu yang terasa sudah berantakan semenjak ditinggal ibumu. Ketika mengingat ibumu, selalu ada bayangan sinterklas kecil yang memiliki senyum hangat itu muncul di benakmu. Orang pertama yang menghiburmu ketika ibumu pergi.
Dialah cinta pertamamu yang tidak pernah kamu kenal namanya. Dia datang dan pergi begitu saja. Maka, sampai detik ini pun kamu tidak pernah bisa tulus menyayangi Nell. Padahal waktu itu, kalian sudah berbagi cerita dengan ceria. Namun baru beberapa hari kalian selalu bertemu di depan pagar dan menghiburmu namun kemudian dia tidak pernah muncul lagi. Kamu harus menelan pil pahit kehilangan sahabat kecilmu seperti ketika ibumu pergi dari hidupmu. Kamu takut, kamu sangat takut bila Nell akan menghilang seperti lelaki kecil itu. Oleh karena itu, kamu tidak pernah belajar untuk lebih mencintainya, memercayainya, dan kamu berharap dia tidak akan pernah menghilang dari hidupmu. Karena setiap kamu bersikap manis, setiap kali itu pula kamu ditinggalkan ... sendirian.
***

25 Desember 00.01
“Jingle bell ... jingle bell ....” Kamu hanya menyanyikan bagian itu terus, berharap dapat memanggil kembali cintamu kepada sinterklas kecil itu dan ibumu yang pergi sewaktu natal. Tidak heran kadang-kadang kamu bahkan sampai menangis tersedu-sedu sambil memandang langit malam tanpa salju.
Kamu meratap dalam kegelapan malam. Kidung natal dan bunyi lonceng gereja yang dekat dengan rumahmu terdengar jelas namun tidak juga memberikan kedamaian dalam hatimu. Kamu masih sendiri sekarang ini. Papa dan keluarga barumu tengah beribadah ke gereja. Meninggalkanmu yang sudah lama telah melupakan Tuhan.
Akhirnya kamu memutuskan duduk bersandar di pagar bagian dalam, rumahmu. Pagarmu bukan lagi pagar lapuk dengan cat yang sudah luntur. Pagar baru yang kokoh namun tidak sama dengan hatimu yang tidak pernah berubah sejak malam itu. kamu masih selalu menangis dengan bersandar pada pagar.
“Jingle bell ... jingle bell ....” Lantunan lagu tersebut mirip dengan dua belas tahun lalu ketika sinterklas kecil itu datang menghiburmu. Tersentak. Kamu mengangkat wajahmu yang tengah tertelungkup dan kecewa mendapati Nell berdiri di hadapanmu. Bahkan kamu bingung bagaimana dia bisa masuk ke dalam rumahmu.
“Eh, jangan nangis ... ini sinterklas kasih kamu hadiah,” ucapnya sembari tersenyum namun tidak ada kotak hadiah apapun di tangannya. Dia juga tidak membawa kaus kaki besar seperti pria sinterklas kecil itu. Kamu tidak berniat menjawabnya. Bukan dia yang kamu harapkan di sini. Melihatnya hanya memperdalam rasa bersalah karena telah bersikap judes kepadanya.
“Agar bisa mengambil hadiahnya, kamu harus ikut aku!” katanya seraya meraih tangan dan menarikmu paksa untuk mengikutinya.
“Apaan sih!” protesmu berusaha melepaskan ikatan tangannya.
Nell tidak peduli, dia terus menarikmu dan tidak melepaskan genggamannya. Dia membawamu dengan mobilnya menuju sebuah kompleks perumahan kumuh dan berhenti di sebuah rumah di ujung blok.
“Siapa?” sahut sebuah suara perempuan yang dalam perkiraanmu sekitar setengah abad ketika Nell mengetuk pintunya.
“Nell, Bu.”
Setelah bunyi klik ketika pintu dibuka, sebuah wajah muncul di ambang pintu yang membuat tangan membekap mulutmu. Air matamu mengalir ketika mata kalian bertemu namun tidak ada sinar teduh yang kamu rindukan. Dia bahkan tidak bereaksi apa-apa ketika matanya menatap lurus ke dalam bola matamu.
“Dia buta,” bisik Nell perlahan. Deg! Seperti dihantam godam, hatimu bergetar sesaat setelah mendengar pernyataan pacarmu. Ada rasa perih yang mencuri masuk ke dalam hatimu.
“Kamu bawa siapa, Nak?” tanya ibu tua itu yang merasakan kehadiranmu. Kamu masih sibuk menangis dan menangkap bayangan wanita setengah abad yang mulai kehilangan kecantikannya. Kamu merasakan dadamu terasa sakit dan sesak.
“Seseorang yang Anda rindukan ....”
Kata-kata Nell membuat wanita tua itu tersentak. Sesaat dia hanya bisa mematung. Kemudian dia terlihat salah tingkah sambil membetulkan rambutnya yang mulai memutih dan pakaiannya yang kumal.
“Mama!” jeritmu sambil memeluknya. Kamu sangat merindukan wanita tua itu, seperti dirinya yang menangis tersedu-sedu ketika mendapatimu dalam pelukannya. Dipaksa seperti apapun, dia tidak ingin menceritakan perihal kebutaannya dan masalah yang membuatnya meninggalkan Papamu. Menurutmu, Mama pasti telah menahan penderitaan sendirian selama dua belas tahun dalam kemiskinan dan kebutaan.
“Ma, aku akan datang lagi yah ...,” katamu berpamitan setelah bercengkerama begitu lama dengan mamamu. Kalian banyak berbagi cerita yang terlewatkan selama dua belas tahun belakangan ini. Mendadak kamu terlihat ceria sehingga kamu bahkan tidak memperhatikan sepasang mata yang melihat senyummu dengan sorot kebahagiaan.
***

“Terima kasih, Nell,” ucapmu tulus ketika berjalan menuju parkiran mobil di depan kompleks, sambil menyunggingkan senyum pertamamu semenjak berpacaran dengannya. Kali ini kamu merasa syukur yang tidak ada habisnya karena Nell telah bersusah payah mencari mamamu dan mempertemukan kalian. Tanpa penjelasannya pun, kamu yakin Nell selalu melakukan sesuatu yang menyenangkanmu. Dia seakan selalu tahu apa yang kamu inginkan.
“Sebagai sinterklas, aku janji akan membuatmu tersenyum.”
Deg! Kata-kata yang sama dengan sinterklas kecilmu itu. Senyum hangat yang diberikan Nell juga seperti ingatanmu di malam Natal itu. Malam yang kamu benci namun selalu kamu rindukan.
Belum habis kamu kaget, Nell melanjutkan “Keajaiban itu akan datang jika kita percaya. Tersenyumlah karena keajaiban itu sudah datang.”
Kamu berhenti dan menatapnya, “Nell! Darimana kamu tahu kata-kata itu?”
“Ciptaan sendiri. Dulu, aku selalu menghibur seorang gadis, maaf, cinta pertamaku dengan kata-kata yang membuatnya tersenyum manis padaku,” ceritanya sambil masih terus berjalan dan mengenang.
“A ... pa?” tanyamu sambil melongo.
“Ah, itu hanya masa lalu. Loh? Ada apa, sayang?” tanyanya bingung ketika melihatmu menghentikan langkah sementara dia sudah melangkah jauh di depanmu. Belum kering jejak air matamu, lagi-lagi kamu menangis. Malam ini, kamu terlihat terlalu cengeng. Namun kamu sudah tidak peduli. Kamu berlari menyongsongnya dan memeluknya dengan erat.
Sesal, rasa bersalah, dan malu bercampur aduk dengan kebahagiaan. Meskipun kamu menyadari buncah kebahagiaanlah yang tengah menguasai hati kecilmu ini. Sudah lama kamu merindukannya. Sekarang, rindu pun berganti kebahagiaan.
“Gadis manis itu aku, sinterklasku sayang. Aku mencintaimu.” Pertama kalinya kamu menyatakan perasaanmu kepada Nell, juga pertama kalinya kamu memeluknya seperti sekarang ini.
Nell membalas pelukanmu dengan lembut, lalu berkata, “Aku tahu, sayang. Akhirnya kamu sadar juga. Aku mencintaimu dulu maupun sekarang.” Bintang-bintang yang bertaburan bak mutiara salju yang menjadi saksi cinta kalian di malam penuh keajaiban.

www.penasangpenulis.wordpress.com

 Buku yang terbit tetapi tidak pernah benar-benar beredar dan tidak benar-benar bisa tersedia untuk pembaca. Kesempatan ini saya gunakan untuk berbagi salah satu kisah yang mungkin bisa menghibur para pembaca. Terima kasih untuk siapapun yang bersedia membaca.

Selamat hari natal 2014 dan tahun baru 2015
Tuhan Yesus selalu beserta kita dulu, sekarang, dan selamanya.
-----
Lily Zhang

No comments:

Post a Comment